Otonomi daerah secara umum ditandai dengan semakin meningkatnya pembangunan di daerah-daerah di Indonesia, demikian halnya di Kota Tarakan pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum terus digalakkan oleh pemerintah. Disamping itu, pemanfaatan SDA yang salah satunya untuk membiayai pembangunan kota juga mengiringi kondisi tersebut.
Pembangunan disatu sisi memberi dampak positif berupa meningkatnya kenyamanan hidup dengan adanya berbagai fasilitas penunjang yang memadai, baik sektor pendidikan, kesehatan, hiburan/ rekreasi, perdagangan dan lain sebagainya. Disisi lain pembangunan juga memberi dampak negatif seperti semakin sempitnya ruang terbuka hijau terutama di kawasan perkotaan, tingkat pencemaran lingkungan yang terus meningkat, ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, yang pada akhirnya mengganggu kenyamanan hidup masyarakat.
Menurut Anonim (2005), permasalahan lingkungan Kota Tarakan yang menonjol adalah kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat dari pembukaan kawasan Hutan Lindung serta adanya limbah rumah tangga dan industri yang dibuang langsung ke sungai, pembukaan lahan dan pemotongan bukit serta penebangan tanpa ijin. Hal ini diperparah oleh sifat alami dari jenis tanah yang didominasi oleh sifat pasir yang bersifat mudah tererosi dan labil.
Kehadiran ruang terbuka hijau di perkotaan merupakan usaha mutlak penanggulangan masalah lingkungan karena kehadiran vegetasi atau penanaman tumbuh-tumbuhan di perkotaan sangat bermanfaat untuk merekayasa masalah llingkungan yaitu estetika, mengontrol erosi air dan tanah, mengurangi polusi udara, menurunkan suhu, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalu lintas dan cahaya yang menyilaukan, mengurangi pantulan cahaya, serta mengurangi bau. Selain itu vegetasi juga berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial untuk makhluk lainnya, perubah terbesar lingkungan dan sebagai sumber hara mineral (Irwan ZD, 2005).
Ruang Terbuka Hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/ jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Anonim, 1988).
Salah satu bagian dari program Ruang Terbuka Hijau yang tengah dikelola oleh Pemerintah Kota Tarakan adalah Hutan Kota (Diatur dalam Perda No. 21/1999 tentang Hutan Kota dan SK Walikota No. 49/2002 tentang Penetapan Lokasi Hutan Kota dan Hutan Lindung Di Wilayah Kota Tarakan).
Menurut Anonim (2005), permasalahan lingkungan Kota Tarakan yang menonjol adalah kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat dari pembukaan kawasan Hutan Lindung serta adanya limbah rumah tangga dan industri yang dibuang langsung ke sungai, pembukaan lahan dan pemotongan bukit serta penebangan tanpa ijin. Hal ini diperparah oleh sifat alami dari jenis tanah yang didominasi oleh sifat pasir yang bersifat mudah tererosi dan labil.
Kehadiran ruang terbuka hijau di perkotaan merupakan usaha mutlak penanggulangan masalah lingkungan karena kehadiran vegetasi atau penanaman tumbuh-tumbuhan di perkotaan sangat bermanfaat untuk merekayasa masalah llingkungan yaitu estetika, mengontrol erosi air dan tanah, mengurangi polusi udara, menurunkan suhu, mengurangi kebisingan, mengendalikan air limbah, mengontrol lalu lintas dan cahaya yang menyilaukan, mengurangi pantulan cahaya, serta mengurangi bau. Selain itu vegetasi juga berperan sebagai produsen pertama yang mengubah energi surya menjadi energi potensial untuk makhluk lainnya, perubah terbesar lingkungan dan sebagai sumber hara mineral (Irwan ZD, 2005).
Ruang Terbuka Hijau dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang/ jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Anonim, 1988).
Salah satu bagian dari program Ruang Terbuka Hijau yang tengah dikelola oleh Pemerintah Kota Tarakan adalah Hutan Kota (Diatur dalam Perda No. 21/1999 tentang Hutan Kota dan SK Walikota No. 49/2002 tentang Penetapan Lokasi Hutan Kota dan Hutan Lindung Di Wilayah Kota Tarakan).
Tujuan penulisan ini adalah memberi masukan kepada pihak-pihat kerkait (instansi berwenang) tentang pemilihan jenis dalam upaya pengelolaan Hutan Kota di Kota Tarakan.
PEMILIHAN JENIS
Pada tahun 2004, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tarakan melakukan kegiatan identifikasi terhadap 5 (lima) lokasi hutan kota sebagai tahap awal dari kegiatan pembuatan tata batas, yaitu untuk menetapkan letak batas sebenarnya di lapangan sehingga dapat dipertanggungjawabkan status hukumnya.
Pemilihan jenis merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan baik dalam pembangunan hutan kota maupun dalam pengelolaan hutan kota. Sebagaimana yang dikemukakan Dahlan (1992), guna mendapatkan keberhasilan dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup di perkotaan, jenis yang ditanam dalam program pembangunan dan pengembangan hendaknya dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan dengan tujuan agar tanaman dapat tumbuh baik dan tanaman tersebut dapat menanggulangi masalah lingkungan yang muncul di tempat itu, lebih lanjut untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta manfaat hutan kota yang maksimal, beberapa informasi yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan antara lain :
1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude, salinitas dan lain-lain.
2. Persyaratan meteorologis : suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
3. Persyaratan silvikultur : kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
4. Persyaratan umum tanaman :
Tahan terhadap hama dan penyakit,
Cepat tumbuh,
Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,
Mempunyai bentuk yang indah,
Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,
Kompatibel dengan tanaman lain,
Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
5. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan
6. Persyaratan estetika
Mempunyai tajuk dan bentuk percabangan yang indah
Bunga dan buahnya memiliki warna dan bentuk yang indah
7. Persyaratan untuk pemanfaatan khusus. Pertimbangan ini harus disesuaikan dengan tujuannya, sehingga memenuhi salah satu kriteria berikut ini :
Tahan terhadap kadar garam yang relatif tinggi
Tahan terhadap pencemar dari industri dan kendaraan bermotor
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap gas
Mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap hujan asam,
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam pengelolaan tata air,
Sebagai habitat burung
Penghasil wewangian dan lain-lain
1. Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, altitude, salinitas dan lain-lain.
2. Persyaratan meteorologis : suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari.
3. Persyaratan silvikultur : kemudahan dalam hal penyediaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat pemeliharaan.
4. Persyaratan umum tanaman :
Tahan terhadap hama dan penyakit,
Cepat tumbuh,
Kelengkapan jenis dan penyebaran jenis,
Mempunyai bentuk yang indah,
Ketika dewasa sesuai dengan ruang yang ada,
Kompatibel dengan tanaman lain,
Serbuk sarinya tidak bersifat alergis,
5. Persyaratan untuk pohon peneduh jalan
6. Persyaratan estetika
Mempunyai tajuk dan bentuk percabangan yang indah
Bunga dan buahnya memiliki warna dan bentuk yang indah
7. Persyaratan untuk pemanfaatan khusus. Pertimbangan ini harus disesuaikan dengan tujuannya, sehingga memenuhi salah satu kriteria berikut ini :
Tahan terhadap kadar garam yang relatif tinggi
Tahan terhadap pencemar dari industri dan kendaraan bermotor
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap gas
Mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap hujan asam,
Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam pengelolaan tata air,
Sebagai habitat burung
Penghasil wewangian dan lain-lain
Sedangkan menurut Fandeli dkk (2004), sesuai dengan salah satu pengertian tentang hutan kota sebagai suatu persekutuan pohon yang mampu menciptakan iklim mikro, maka hutan kota dapat dibangun di hampir semua lahan di kota.
Lokasi hutan kota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Tarakan secara umum memang merupakan kawasan hutan jarang dan sedang yang terus mengalami degradasi dengan komposisi jenis campuran yaitu Acacia sp (berasal dari program penghijauan DKP), Dipterocarpus sp, Shorea sp, semak belukar dan sebagian tanaman buah-buahan (oleh masyarakat), sehingga dapat digambarkan kondisi kelima hutan kota tersebut adalah merupakan kawasan hutan yang terkonsentrasi pada beberapa lokasi dengan komunitas yang mengarah atau meniru hutan alam.
Menurut Zoer’aini (2005) kondisi tersebut dapat dikategorikan ke dalam bentuk hutan kota bergerombol atau menumpuk yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan dan struktur berstrata banyak yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kriteria pemilihan jenis yang cocok untuk diterapkan pada kelima Hutan Kota diatas adalah dengan komposisi jenis heterogen (banyak jenis), habitus berupa pohon, pertumbuhan sedang dan cepat, tajuk rindang berlapis.
Demikian, semoga tulisan ini menjadi bahan rujukan bagi Pemerintah Kota Tarakan melalui dinas terkait untuk segera mengupayakan program pembangunan dan pengelolaan hutan kota sehingga dapat memberikan manfaat sesuai fungsinya serta pemilihan jenis-jenis yang sesuai dengan kondisi ekologis setempat, agar dapat memberikan dampak positif baik dari aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial terhadap masyarakat Kota Tarakan.
Menurut Zoer’aini (2005) kondisi tersebut dapat dikategorikan ke dalam bentuk hutan kota bergerombol atau menumpuk yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan dan struktur berstrata banyak yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kriteria pemilihan jenis yang cocok untuk diterapkan pada kelima Hutan Kota diatas adalah dengan komposisi jenis heterogen (banyak jenis), habitus berupa pohon, pertumbuhan sedang dan cepat, tajuk rindang berlapis.
Demikian, semoga tulisan ini menjadi bahan rujukan bagi Pemerintah Kota Tarakan melalui dinas terkait untuk segera mengupayakan program pembangunan dan pengelolaan hutan kota sehingga dapat memberikan manfaat sesuai fungsinya serta pemilihan jenis-jenis yang sesuai dengan kondisi ekologis setempat, agar dapat memberikan dampak positif baik dari aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial terhadap masyarakat Kota Tarakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
Anonim, 2004. Laporan Identifikasi Hutan Kota (1). Gunung Amal II (2) Hutan Kota Panglima Batur (3) Hutan Kota Gunung Pasir (4) Hutan Kota Agroforestry (5) Hutan Kota Karang Harapan. Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Tanaman Pangan Kota Tarakan. 18 h.
Anonim. 2005. Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan Tahun 2005. Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kota Tarakan. 85 h.
Dahlan, E. N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Jakarta. 15 h.
Fandeli, C., Kaharuddin, Mukhlison, 2004. Perhutanan Kota. Penerbit Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 203 h.
Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 179 h.
Anonim, 2004. Laporan Identifikasi Hutan Kota (1). Gunung Amal II (2) Hutan Kota Panglima Batur (3) Hutan Kota Gunung Pasir (4) Hutan Kota Agroforestry (5) Hutan Kota Karang Harapan. Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Tanaman Pangan Kota Tarakan. 18 h.
Anonim. 2005. Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan Tahun 2005. Dinas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Kota Tarakan. 85 h.
Dahlan, E. N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Jakarta. 15 h.
Fandeli, C., Kaharuddin, Mukhlison, 2004. Perhutanan Kota. Penerbit Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 203 h.
Irwan ZD. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 179 h.
No comments:
Post a Comment