Tuesday, December 30, 2008

MEMPRIORITASKAN KUALITAS ATAS KUANTITAS

(dikutip dari BUKU FIQH PRIORITAS oleh Dr. Yusuf Qardhawi)

Pada suatu kesempatan saya diminta oleh murobbi untuk membedah buku “FIQH PRIORITAS oleh Dr. Yusuf Qardhawi”. Ketika saya membaca buku ini, saya menemukan begitu banyak hal penting yang membuat saya menyadari betapa saya telah salah memprioritaskan segala hal selama ini . Pada bagian ini saya ajak teman-teman untuk menyimak “MEMPRIORITASKAN KUALITAS ATAS KUANTITAS”. Begitu banyak hal yang bermanfaat Jazakumullah.

Diantara hal-hal penting yang perlu diprioritaskan menurut pandangan syariat ialah : mendahulukan kualitas dan jenis urusan atas kuantitas dan volume pekerjaan, yaitu bukannya banyak dan besarnya persoalan yang dihadapi, tetapi kualitas dan jenis pekerjaan yang kita hadapi.
Al-Quran sangat mencela terhadap golongan mayoritas (banyak) apabila di dalamnya hanya diisi oleh orang-orang yang tidak berakal, tidak berilmu, tidak beriman dan tidak bersyukur; sebagaimana disebutkan :
“…… akan tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya” (al-Ankabut: 63)
“…… akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (al-A’Raf: 187)
“…… akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman” (Hud: 17)
“…... akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” (al-Baqarah: 243)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah…” (al-An’am: 116)
Pada masa yang sama al-Quran memberikan pujian terhadap kelompok minoritas (sedikit) apabila mereka beriman, bekerja keras, dan bersyukur, sebagaimana firman-Nya :
“….. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini ……” (Shad : 24)
“….. dan sedikit sekali hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” (Saba’ : 13)
“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi…..” (al-Anfal : 26)
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka…” (Hud: 116)
Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk memiliki keturunan yang banyak melebihi umat yang lain, namun beliau tidak menghendaki kebodohan, kefasikan, kemiskinan dan kezaliman umatnya atas umat-umat yang lain, sebagaimana sabdanya :
“ Menikahlah kamu, kemudian berketurunanlah, agar jumlah kamu menjadi banyak, karena sesungguhnya aku bangga dengan jumlahmu yang banyak atas umat-umat yang lain” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud & Nasai dari Ma’qal bin Yasar)
“ Manusia itu bagaikan unta, diantara seratus ekor unta itu engkau belum tentu menemukan seekor yang boleh dijadikan sebagai tunggangan “ (Muttafaq’Alaih, dari Ibn Umar).
Kita senantiasa menonjolkan jumlah atau angka beribu-ribu atau berjuta-juta tanpa tahu apa yang ada dibalik angka-angka tersebut. Seorang penyair dijaman Arab Jahiliyah mengatakan bahwa “jumlah yang sedikit tidaklah rugi apabila mereka mulia dibandingkan jumlah yang banyak tetapi terhina”.
Al-Quran pun menceritakan kepada kita bagaimana Rasulullah dan para sahabat memperoleh kemenangan dalam Perang Badar padahal jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan jumlah musuh.
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya)” (Ali’Imran: 123) (Lihat juga al-Anfal: 26)
Namun disaat lain yaitu Perang Hunain kaum muslimin hampir menderita kekalahan karena mereka membanggakan kualitas (jumlah yang banyak) dan melupakan kualitas (kekuatan ruhaniah) serta kemahiran perang, setelah mereka bertobat maka Allah memberi memberikan kemenangan kepada mereka (sebagaimana disebutkan dalam surah At-Taubah: 25-26).
Dalam al-Quran, Allah juga menjelaskan bahwa apabila keimanan dan kemauan kuat atau kesabaran telah berkumpul dalam diri manusia maka kekuatannya akan menjadi sepuluh kali lipat dibandingkan musuh-musuh yang tidak memiliki keimanan dan kemauan (sebagaimana disebutkan dalam surah al- Anfal: 65-66).
Pada zaman kita saat ini umat muslim sangat banyak namun sebagaimana dijelskan dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban bahwa jumlah yang banyak tidaklah cukup apabila hanya kelihatan megah dari luar tetapi lemah di dalam, bagaikan buih yang terseret arus air, lemah tidak memiliki identitas, kehilangan tujuan dan jalan yang benar.
Oleh karena itu sebaiknya kita lebih memperhatikan kualitas dibandingkan kuantitas dalam segala hal, manusia misalnya tidak diukur dari tinggi tubuhnya, kekuatan ototnya, besar tubuhnya, dan kecantikan wajahnya karena bukan merupakan inti dan hakikat kemanusiaan. Tubuh manusia hanya bungkus dan instrument, hakikatnya ialah akal dan hatinya.
Dalam hadist shahih disebutkan bahwa :
“Orang Mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang Mu’min yang lemah”
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kamu, dan bentuk luar kamu, akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu” (Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. 2564).
Amalan-amalan yang diterima disisi Allah bukanlah berdasarkan jumlah atau kuantitasnya tetapi inti atau kualitasnya. Banyak amal yang hanya memenuhi syarat secara lahiriah tetapi kehilangan ruh yang meniupkan kehidupan di dalamnya, karena itu amal tersebut tidak dianggap sebagai amal kebajikan dan tidak ditimbang sebagai amal kebajikan di akhirat kelak. Allah SWT berfirman :
“Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya’ (al-Ma’un: 4-6).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5).
Jika amal perbuatan tidak dapat diukur dengan kuantitas (besarnya), maka umur manusia tidak dapat diukur dengan lama waktunya. Ada orang yang berumur panjang tetapi tidak membawa berkah, dan ada orang yang tidak berumur panjang tetapi hidupnya sarat dengan pelbagai kebajikan dan perbuatan yang baik.
Cukuplah contoh bagi kita, yaitu Nabi SAW yang mulia, dalam masa duapuluh tiga tahun (yaitu masa sejak beliau diangkat sebagai nabi), dalam masa ini beliau mendirikan agama yang paling mulia, mendidik generasi yang paling baik, menciptakan umat yang terbaik, mendirikan Negara yang paling adil, menang terhadap penyembahan berhala orang-orang kafir, Yahudi serta memberikan warisan setelah kitab Allah berupa sunnah yang menjadi petunjuk dan sirah yang sempurna.
Demikian halnya sahabat-sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab, Umar bin Abd al-Aziz, yang senantiasa berjuang menegakkan agama Allah. Demikian halnya Imam besar seperti Imam Syafi'i, yang hidup selama lima puluh empat tahun menurut perhitungan tahun qamariyah (150-204 H.) tetapi dia mampu memberikan berbagai sumbangan ilmiah yang orisinal. Imam al-Ghazali, yang hidup selama lima puluh lima tahun (450-505 H.) meninggalkan kekayaan ilmiah yang bermacam-macam. Imam al-Nawawi, yang hidup selama empatpuluh lima tahun (631-676 H.) meninggalkan warisan yang sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin secara menyeluruh; baik berupa hadits, fiqh; yaitu dari hadits empat puluhnya hingga penjelasannya atas hadits Muslim; dari metodologi fiqh hingga Rawdhah al-Thalibin; dan lain-lain.
Begitu pula halnya dengan para ulama yang lain; yang memenuhi dunia ini dengan ilmu dan keutamaannya. Oleh karena itu, ada orang yang meninggal dunia sebelum dia mati. Umurnya telah habis padahal dia masih hidup. Tetapi ada orang yang dianggap masih hidup setelah dia meninggal dunia. Karena dia meninggalkan amal-amal yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, keturunan yang baik, murid-murid yang dianggap dapat memperpanjang umurnya.

No comments: