Thursday, January 5, 2012

DAMPAK LINGKUNGAN SISTEM PERTANIAN LAHAN GAMBUT

PENDAHULUAN
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat. Lahan yang dulunya dianggap sebagai lahan marjinal, seperti lahan gambut, menjadi salah satu sasaran perluasan lahan pertanian. Lahan ini menjadi pilihan yang potensial terutama bagi perkebunan skala besar karena lebih jarang penduduknya sehingga konflik tata guna lahan relatif lebih kecil (Agus dan Subiksa, 2008).
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa, 2008).
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena
proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). 
Meski Indonesia memiliki lahan gambut yang luas yaitu sekitar 21 juta ha di seluruh Indonesia namun tidak keseluruhan lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan, hal ini karena variabilitas lahan yang tinggi baik dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. Lahan gambut dangkal (< 100 cm) disarankan untuk dimanfaatkan bagi kegiatan tanaman pangan dengan pertimbangan kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan yang lebih rendah. Kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan diantaranya yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman (BB Litbang SDLP, 2008). 
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang khas dari segi struktur, fungsi dan kerentanan yang besar terhadap usikan (disturbance). Sebagai ekosistem, lahan gambut merupakan salah satu komponen lingkungan lokal, regional maupun global. Komponen lingkungan lokal berkaitan dengan sifat fisik, kimia dan hayati gambut. Adapun fungsi gambut dalam pemendaman (sequestering) karbon dan pendauran air menjadikan lahan gambut suatu bagian dari sistem lingkungan regional-global bersama dengan atmosfer dan hidrosfer. Untuk itulah maka dampak pengembangan gambut tidak hanya akan berdampak pada lahan gambut itu sendiri namun juga akan berdampak pada lingkungan secara luas (Notohadiprawiro T, 2006).

ASPEK LINGKUNGAN LAHAN GAMBUT
Lahan gambut dengan karakteristik fisik dan kimia yang khas akan memberi kontribusi positif terhadap keseimbangan lingkungan apabila berada dalam kondisi alami, namun adanya usikan (disturbance) akan berdampak pula terhadap lingkungan sekitarnya. Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah :
  
1. Sebagai Penambat dan Penyimpan Karbon 
Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008).
Dalam keadaan alami, lahan gambut memiliki fungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi terhadap pengurangan gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Kemampuan menyimpan karbon ini 10 kali lebih banyak dari tanaman dan tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

2. Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Karena itu gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al., 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Pada tahun-tahun di mana terjadi kemarau panjang, misalnya tahun El-Niño, kemungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) disebabkan lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dalam waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat dari penambatan.
  
3. Subsiden
Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan (Stewart, 1991; Salmah et al., 1994, Wösten et al., 1997).


Bersambung pada posting berikutnya "Pengelolaan Lahan Gambut & Dampaknya Terhadap Lingkungan"

PUSTAKA



Agus, F. Dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi Untuk Pertanian Dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Centre (Icraf), Bogor, Indonesia

Bb Litbang Sdlp (Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian). 2008. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Penelitian Dan Pengembangan Perubahan Iklim Pada Sektor Pertanian. Balai Pesar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah Dan Tata Guna Lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.

Limin, S.H. 2006. Pemanfaatan Lahan Gambut Dan Permasalahannya. Workshop Gambut Dengan Tema : Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian, Tepatkah? Kerjasama Antara Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (Bppt) Dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Centre For International Cooperation In Management Of Tropical Peatland (Cimtrop) Universitas Palangka Raya (Unpar).

Notohadiprawiro, T. 2006. Etika Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian Tanaman Pangan. Repro : Ilmu Tanah Universiitas Gadjah Mada.

Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sagiman, S. 2007. Pemanfaatan Lahan Gambut Dengan Perspektif Pertanian Berkelanjutan Saeri Sagiman Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, 23 Juli 2007.

Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical And Chemical Characteristic Of Peat Soil Of Indonesia. Ind. Agric. Res. Dev. J. 10:59-64.

No comments: