Monday, February 20, 2012

MENGGAGAS PENATAAN RUANG UNTUK KAWASAN PERTANIAN PADA EKOSISTEM PULAU KECIL TARAKAN

A.   URGENSI PENATAAN RUANG PADA PULAU-PULAU KECIL  
Penataan ruang merupakan suatu keharusan yang wajib dilakukan mengingat aktivitas pembangunan terus berlanjut dan membutuhkan upaya-upaya pengaturan agar diperoleh ruang yang selaras, serasi dan seimbang. Penataan ruang menurut UU No 26 Tahun 2007 adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang sebagai suatu sistem menekankan adanya suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara ketiga proses tersebut untuk mencapai penataan ruang yang diharapkan.
Di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ada dua komponen utama yang membentuk tata ruang, yakni wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang.   Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.  Sedangkan pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah.
Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hirarkis, baik antar kegiatan maupun antar pusat, akan tetapi juga menggambarkan mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan, lokasi, dan struktur (keterkaitan jaringan infrastruktur dengan pusat permukiman dan jasa), tidak terkecuali pada pulau kecil.
Pulau-pulau Kecil di Indonesia merupakan aset yang potensial dan strategis sehingga dibutuhkan suatu pengelolaan yang terencana agar pemanfaatan sumber daya alam dapat memberi manfaat yang optimal dan berlangsung secara lestari. Pemanfaatan secara tidak terencana dan terkendali telah mengakibatkan pulau-pulau kecil tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mendukung berbagai upaya pembangunan, sehingga secara umum masyarakat pada pulau-pulau kecil berada pada tingkat kesejahteraan menengah kebawah.
Rusli (2006) menyatakan terdapat berbagai permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil diantaranya adalah (1) Sebagian besar penduduk masih tergantung pada sektor pertanian (termasuk Kehutanan, Peternakan dan Perikanan); (2) Pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan (tambang, hutan dll); (3) Kebutuhan sehari-hari masyarakat masih sangat tergantung dari luar, masyarakat yang tinggal di pulau kecil pada umumnya masih belum ber-swasembada, baik untuk pangan maupun untuk kebutuhan lainnya sehingga harga berbagai kebutuhan menjadi lebih mahal; (4) Ketersediaan infrastruktur yang sangat terbatas, sehingga biaya transportasi mahal; (5) Partisipasi masyarakat dalam pengembangan lingkungan sangat rendah; dan   (6) Masih dijumpai adanya konflik antar berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan rencana yang berbeda sesuai tujuan sektoralnya, sehingga mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan. 
Selain berbagai permasalahan tersebut, keterbatasan lahan pada pulau-pulau kecil juga perlu diperhatikan sehingga penataan ruang yang sesuai dengan karakteristik ekosistem pulau kecil serta mengakomodir seluruh kebutuhan pada berbagai kepentingan menjadi hal penting yang harus dilakukan dalam menyusun rencana pembangunan daerah maupun nasional.  
B.     KOTA TARAKAN SEBAGAI EKOSISTEM PULAU KECIL
Ekosistem dapat diartikan suatu unit atau satuan fungsional dari makhluk-makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem mencakup dua komponen penting yaitu komponen biotik dan abiotik yang membentuk suatu tatanan kesatuan secara utuh. Adapun lingkungan merupakan komponen abiotik yang mempengaruhi komponen biotik sehingga gangguan keseimbangan pada lingkungan akan berdampak pula pada makhluk-makhluk hidup sebagai bagian dari komponen biotik.
Pulau Kecil dalam upaya pengelolaannya tidak dapat dilepaskan dari wilayah pesisir sehingga dalam tatanan konsep dan kebijakan seringkali diistilahkan sebagai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Konsep tersebut dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memandang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai suatu ekosistem sehingga pendekatan pengelolaannya haruslah merupakan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach).
Kota Tarakan merupakan pulau yang terletak dibagian utara Provinsi Kalimantan Timur dengan luas daratan hanya 250,08 km2 dan luas perairan/laut seluas 406,53 km2. Terletak pada 3°19”-3°20’ LU dan 117°34’-117°38’BT.
Kota Tarakan dapat dikategorikan sebagai Pulau Kecil berdasarkan luas wilayahnya sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Lebih lanjut menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut: 1) pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200 000 orang; 2) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular; 3) mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; 4) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; dan 5) dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. 
Bengen (2002), menyatakan sebagian besar pulau-pulau kecil dapat dikelompokkan menjadi pulau oseanik, yang memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol seperti: 1) terpisah dari pulau induk (mainland island); 2) memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah dengan daerah tangkapan air relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; 3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran; 4) area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua dan pulau besar); dan 5) tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.
            Kota Tarakan sebagai pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup potensial, diantaranya minyak dan gas yang hingga saat ini masih menjadi sumber daya alam andalan serta hasil-hasil laut dan perikanan yang melimpah. Komitmen pemerintah daerah terhadap kemajuan Kota Tarakan telah mengantarkan kota ini menjadi kota transit kedua yang penting setelah Kota Balikpapan, sebelum menuju kabupaten lain di wilayah utara Kalimantan Timur. Berdasarkan kondisi tersebut, Kota Tarakan dapat menjadi sentra penggerak perekonomian diantara kabupaten lain disekitarnya sehingga Pemerintah Kota Tarakan mencanangkan diri sebagai ”Kota Jasa dan Perdagangan yang Berkelanjutan”.

C.      PENATAAN RUANG BAGI KAWASAN PERTANIAN DI KOTA TARAKAN
Meski sektor jasa dan perdaganngan diharapkan dapat menjadi ”leading sector” namun tak dapat dipungkiri bahwa sektor-sektor lain juga turut memberikan sumbangan bagi kemajuan perekonomian Kota Tarakan, salah satu diantaranya adalah sektor pertanian khususnya budidaya tanaman semusim dengan komoditas utama hortikultura sayur-sayuran dan Palawija. Usahatani ini telah cukup lama dilakukan yaitu > 30 tahun sebagaimana dikemukakan Wahyuni (2009) berdasarkan penelitian pada masyarakat patani Suku Toraja di Kota Tarakan.      
Usahatani di Kota Tarakan mengalami berbagai kendala diantaranya adalah kendala biofisik lahan dan sosial ekonomi. Kendala biofisik diantaranya tanah kurang subur dengan kandungan unsur hara N dalam kategori rendah sedangkan unsur hara P sangat rendah dan unsur hara K sangat rendah dengan kelas tekstur lempung berpasir (sandy loam) sehingga tanah permukaan mudah terkikis oleh air (Anonim, 2008) serta sulitnya memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.
Adapun kendala sosial ekonomi sebagaimana dikemukakan Wahyuni (2009) adalah keterbatasan modal, status lahan yang tidak jelas, sulitnya memperoleh benih, pupuk dan pestisida, serta rendahnya kemampuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Kendala lain kegiatan usahatani pada pulau-pulau kecil termasuk Kota Tarakan adalah permasalahan ketersediaan lahan yang lebih diperuntukkan bagi kebutuhan lain seperti pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Akibatnya, seringkali kegiatan bertani dilakukan masyarakat pada kawasan hutan dan lahan-lahan dengan tingkat kelerengan curam.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan dampak dari usahatani yang dilakukan dan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk memberikan alternatif usahatani yang berwawasan lingkungan mengakibatkan sektor pertanian menjadi salah satu isu utama tekanan terhadap lingkungan sebagaimana dikemukakan dalam Anonim (2010) bahwa usahatani di Kota Tarakan merupakan salah satu tekanan pada lingkungan disebabkan penggunaan pupuk dan pestisida yang cenderung berlebihan, pencemaran emisi gas Methan (CH4) dari lahan sawah, serta pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang seringkali mengakibatkan kebakaran hutan disekitarnya. Selain itu kondisi dilapangan menunjukkan bahwa (1) Terdapat usahatani yang terletak pada lahan-lahan dengan tingkat kemiringan > 15% sehingga memiliki potens bahaya erosi ringan hingga parah (Wahyuni, 2009); (2) Keterbatasan lahan untuk usahatani menyebabkan masyarakat cenderung merambah kawasan hutan (Anonim, 2008; Soetrisno, 2011);
Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di Kota Tarakan, permasalahan tekanan lingkungan oleh kegiatan pertanian harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah daerah. Pengaturan pemanfaatan lahan melalui kebijakan penataan ruang yang mengalokasikan secara jelas kawasan untuk pertanian merupakan langkah awal yang dapat dilakukan.
Saat ini, kebijakan penataan ruang di Indonesia telah menetapkan suatu kewajiban untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Penerapan konsep ini diharapkan akan memberikan jaminan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/ atau kebijakan, rencana dan/program.
Berdasarkan hal itu, penetapan kawasan pertanian pada rencana tata ruang wilayah Kota Tarakan dapat dimulai dengan melakukan suatu kajian dengan memperhatikan karakteristik usahatani yang ada, kapasitas daya dukung lingkungan, perkiraan dampak dan risiko lingkungan serta upaya-upaya penanganan dampak lingkungan. Melalui kajian tersebut, selanjutnya akan dapat disusun pula rencana/ program pengembangan usahatani pada kawasan yang telah ditetapkan. Penataan ruang dan penetapan kawasan pertanian yang didasarkan pada suatu kajian terhadap lingkungan diharapkan akan dapat membantu mengatasi berbagai dampak lingkungan yang muncul serta menjamin keberlanjutan usahatani di Kota Tarakan. 

Sumber Pustaka:
Anonim, 2008. Laporan Kegiatan Evaluasi Kesesuaian Lahan Hutan Kota Di Kota Tarakan. Kerjasama Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kota Tarakan dengan Fakultas Pertanian Universitas Borneo Tarakan.
Anonim. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Tarakan. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Tarakan.
Bengen, G.D.  2002.  Pengelolaan Ekosistem Mangrove.  PKSPL – IPB.  Bogor.
Rusli Yetti. 2006. Kata Sambutan Pada Prosiding Perencanaan Pembangunan Kehutanan Berbasis Ekosistem Pulau Kecil. Badan Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Bpfp – Unpatti).
Soetrisno Adi. 2011. Pengembangan Institusi Pemulihan Fungsi Hutan Lindung Pulau Tarakan Sebagai Penyangga Ekosistem Pulau Kecil. Disertasi. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Wahyuni Etty. 2009. Kearifan Lokal Petani Suku Toraja Dalam Usahatani Sawi (Brassica Juncea L. Coss) Ditinjau Dari Aspek Pelestarian Sumberdaya Lahan Di Kelurahan Kampung Enam Kecamatan Tarakan Timur Kota Tarakan. Laporan Hasil Penelitian Mandiri. Universitas Borneo Tarakan.

1 comment:

Outbound di Malang said...

Terimakasih informasi nya gan, sangat bermanfaat :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,