Dan deretan huruf itu begitu saja
jatuh dari pangkuanmu. Mungkin kau tak sengaja menjatuhkannya saat jendela itu
terbuka dan membiarkan angin dengan leluasa menyapamu.
“Ketidaksengajaan” yang akan membawamu pada banyak hal rumit yang tak
mampu kau uraikan, atas dasar apapun dan atas keinginan apapun. “Ketidaksengajaan” yang tak ingin kau akui
sebagai suatu ketidaksengajaan. “Ketidaksengajaan yang ingin kau sebut
“sesuatu yang telah dituliskan” tapi kau tak pernah berani menyetujui itu.
“sesuatu yang telah dituliskan” tapi kau tak pernah berani menyetujui itu.
Ketika kau tahu ada huruf yang hilang dari kalimat-kalimat yang kau
tuliskan, mengapa kau tak berusaha mengumpulkannya agar kembali sempurna. Agar
kau tetap bisa membaca dan mengerti maknanya. Mengapa membiarkan deretan itu
tak utuh ? Mengapa kau begitu lemah hanya untuk mencari yang hilang ? Mengapa
meninggalkan “sesuatu” yang begitu ingin kau patuhi ?
Aku tahu… Dia melihatmu.. dan bertanya “apa yang kau cari ?”
“Sesuatu yang hilang saat ketidaksengajaan itu menghampiriku. Bisakah kau
menunjukkannya padaku ?”
Aku tahu… Dia tak begitu saja menjawabmu… dan justru bertanya “mengapa
kau membiarkannya hilang?” dan “mengapa kau bertanya itu padaku ?”
Termangu-mangu memandang hujan yang berlomba-lomba ingin segera sampai ke
bumi, ingin mengaliri apa saja yang ditemukannya, berharap banyak hal yang
dapat diceritakannya ketika akhirnya yang dimilikinya hanya waktu untuk
berdiam, karena tak ada pintu yang terbuka untuk bertemu cerita lainnya.
“Masih mencari ?” Tiba-tiba saja dia kembali bertanya padamu. Aku tahu, …
kau tak bisa menjawab apapun. Kau bahkan tak yakin ada yang pernah hilang
darimu.
Setelah itu.. Setiap dia datang menghampirimu, kau tak pernah bisa
menjawab pertanyaan itu. Kau bahkan lupa pernah menanyakan itu padanya. Kemana
keinginanmu untuk mengerti ? Aku tak tahu kalau kau begitu lemah untuk
mengerti. Yang kutahu.. kau begitu kuat untuk bisa memahami apapun.
Aku melihatmu… dan apa yang kau jaga dipangkuanmu. Tanganmu begitu kuat
menggenggamnya tapi aku tahu ketidaksempurnaan yang kau sembunyikan di
dalamnya. Bahkan sebagian sampulnya terlihat tak sempurna karena tersentuh
basah. Dari hujan kah ? atau dari airmatamu ?
Aku ingin menghampirimu.. sebelum dia datang kembali.. dan bertanya
padamu, “Bisakah kau membiarkan aku membaca apa yang ada digenggamanmu ?”.
Aku ingin berkata “kau tak perlu takut untuk membukanya lagi. Agar kau
tahu apa yang hilang dari genggamanmu”. Membiarkannya tertutup dan tetap dalam
genggamanmu tak akan memberi petunjuk untuk mencari yang hilang”.
“Sudahlah.. aku sudah cukup bersalah membiarkan deretan huruf itu jatuh
dari pangkuanku. Dan aku tak ingin itu terulang lagi”. Jawaban yang tak ingin
aku dengar, tapi itu yang kau pilih. Kau aneh dengan keinginanmu untuk mencari
dan keinginanmu untuk tak ingin tahu apa yang kau cari.
Dan deretan huruf itu begitu saja
jatuh dari pangkuanmu. Mungkin kau tak sengaja menjatuhkannya saat jendela itu
terbuka dan membiarkan angin dengan leluasa menyapamu.
Tapi mereka sudah jatuh dan hujan telah membawanya begitu jauh darimu,
bahkan hujan telah mengenalkannya pada banyak cerita. Bisakah kau menunggu
mereka kembali dan bercerita padamu ?
Mungkin saja kau akan memaafkan dirimu atas “ketidaksengajaan” itu dan
kau tak perlu takut untuk menyebut “ketidaksengajaan” itu adalah “sesuatu yang telah dituliskan”.
Dan Sekali ini… Maukah kau
mendengarkan aku ?
(Terinspirasi
“Tentang Musim” Sonata Musim Kelima “Ian Fang”)
1 comment:
brrrrrr.... terasa merinding membaca tulisan ini.. sangat menyentuh..
Post a Comment